Cewek Bookingan Yang Sangat Profesional
Cewek Bookingan Yang Sangat Profesional
DominoQQ - Kenalkan
namaku Reni. Umurku 24 tahun. Statusku bersuami dengan 2 orang anak.
Pekerjaanku cewe bokingan. Tetapi nanti dulu, jangan mencemoohku dulu. Saya
bukan cewe bokingan kelas Kramat Tunggak apalagi Monas di Jakarta atau Gang
Dolly di Surabaya.
Saya
seorang cewe bokingan profesional. Oleh karena itu tarip pemakaian saya juga
tidak murah. Untuk “short play” sebesar US$ 200, dengan uang muka US$ 100
dibayar saat pencatatan pesanan dan kekurangannya harus dilunasi sebelum
pengguna jasa saya sebelum menaiki tubuh saya.
Jelasnya,
sebelum kunci kamar tempat berlangsungnya permainan dikunci. “Short play”
berlangsung 1 jam, paling lama 3 jam, tergantung stamina customer. Kalau
sesudah 1 jam, sudah merasa capai, dan tidak memiliki lagi kekuatan untuk ereksi,
apalagi untuk ejakulasi, artinya permainan sudah usai.
Semua
kesepakatan ini tertulis dalam tata cara pemakaian tubuh atau jelasnya lagi
tata cara persewaan kemaluan saya. Ini sudah penghasilan bersih, sudah
merupakan “take home pay”. Saya tidak mau tahu soal sewa kamar, minum, makan
malam dan sebagainya.
Semua
aturan ini saya buat dari hasil pengalaman menjadi cewe bokingan selama 3 tahun
(saya berniat berhenti menjadi cewe bokingan dua tahun lagi, bila modal saya
sudah cukup). Saya tidak pernah diskriminasi, apakah pembeli saya itu seorang
pejabat atau konglomerat. Pokoknya ada uang kemaluan saya terhidang, tak ada
uang silakan hengkang.
More
money more service, no money no service. Biasanya para langganan yang sudah
ngefans betul pada saya masih memberi tips. Setelah persetubuhan selesai, saya
akan menanyakan, “Bapak (atau Mas) puas dengan layanan saya?” Jawabnya bisa
macam-macam. “Luar biasa!” mengatakan demikian sambil menggelengkan kepalanya.
Atau
ada yang menganggukkan kepala, “Biasa!”. Tetapi ini yang sering, tanpa berkata
sepatahpun memberikan lembaran ratusan ribuan dua atau tiga lembar. Untuk tarip
“long-play</i> atau “all night</i>, tergantung kesepakatan saja,
namun tidak akan kurang dari enam ratus dolar. Itu tentang tarip.
Sekarang
tentang service. Saya akan menuruti apa saja yang diminta oleh pelanggan
(customer) selama hal itu tidak merusak atau menyakiti tubuh saya atau tubuh
pelanggan. Dengan mulut, oke, begitu juga mandi kucing atau mandi susu yaitu
memijati tubuh pelanggan dengan buah dada saya yang putih dan montok, juga
oke-oke saja. Tetapi bersetubuh sambil disiksa, atau saya harus menyiksa
pasangan saya, saya akan menolak.
Tiga
tahun menjadi cewe bokingan telah memberikan pengalaman hidup yang besar sekali
dalam diri saya. Saya mempunyai buku catatan harian tentang hidup saya. Saya
selalu menulis pengalaman persetubuhan saya dengan bermacam-macam orang, suku
bangsa bahkan dengan laki-laki dari bangsa lain (Afrika, India, Perancis, dan
lain-lain).
Tetapi
kalau selama tiga tahun saya menggeluti profesi saya itu lahir dua orang anak
manusia, (masing-masing berumur 2 tahun 3 bulan dan satunya lagi 1 tahun),
tentunya saya tidak bisa bahkan tidak mungkin mengetahui siapa bapak
masing-masing anak itu. Cobalah dihitung, kalau dalam seminggu saya disetubuhi
oleh minimal 10 orang, dalam 1 bulan ada 30 orang yang memarkir kemaluannya di
kemaluan saya (1 minggu saat menstruasi, saya libur).
Tetapi
ini tidak berarti anak itu tanpa bapak. Resminya anak itu adalah anak Pak Gilang
(nama samaran). Dia adalah boss tempat saya secara resmi bekerja. Seorang
notaris dan sekarang sedang merintis membuka kantor pengacara. Pekerjaan resmi
(pekerjaan tidak resmi saya adalah cewe bokingan) ini cocok dengan pendidikan
saya. Saya, mahasiswa tingkat terakhir Fakultas Hukum salah satu universitas
swasta, jurusan hukum perdata.
Tetapi
nantinya saya kepingin menjadi notaris, seperti Pak Gilang ini. Sebetulnya saya
ditawari Pak Gilang untuk menangani kantor pengacara yang akan didirikannya
tadi. Tetapi saya tidak mau. Menurut persepsi saya (mudah-mudahan persepsi saya
salah) dunia peradilan di negeri kita masih semrawut.
Mafia,
nepotisme, sogok, intimidasi masih kental mewarnai dunia peradilan kita. Dari
yang di daerah sampai ke Mahkamah Agung (ini kata majalah Tempo loh). Tetapi
sudahlah itu bukan urusan saya. Lalu darimana saya kenal dengan Pak Gilang? Itu
terjadi pada tahun pertama saya menjadi cewe bokingan.
Waktu
itu saya hamil 2 bulan. Kebetulan Pak Gilang mem-booking saya. Setelah selesai
menikmati tubuh dan kemaluan saya sepuasnya, saya muntah-muntah. Itu terjadi
waktu saya bangun pagi. Dia bertanya apa saya hamil. Saya jawab iya. Lalu dia
bertanya siapa bapaknya. “Ya entahlah”, jawab saya. Waktu itulah dia menawari
pekerjaan untuk saya, kesediaan untuk secara resmi menjadi suami saya dan
tentunya melegalisir bayi yang akan saya lahirkan.
Saya
tidak tahu bagaimana dia mengurus tetek bengeknya di kantor catatan sipil dan
bagaimana dia dapat menjinakkan isterinya. Yang jelas setelah itu tiap hari
Selasa dan Kamis saya berkantor di kantor Pak Gilang. Lalu apa keuntungan Pak Gilang?
Ya pasti ada. Tiap hari Selasa dan Kamis, dia akan sarapan kedua.
Mulai
dari menciumi, meraba-raba badan dan buah dada, dan terakhir menyutubuhi.
Kadang-kadang saya malah tidak sempat bekerja karena selalu dikerjai oleh suami
saya tersebut. (Bangunan yang dipakai sebagai kamar kerja Pak Gilang dan saya
terpisah dengan bangunan untuk ruang kerja stafnya).
Wajah
saya memang cantik. Tinggi dan berat serasi, bahkan berat badan di atas angka ideal,
namun terkesan seksi. Buah dada cukup besar, tetapi tidak kebesaran seperti
perempuan yang menjalani operasi plastik dengan mengganjal buah dadanya dengan
silikon.
Kata
orang saya cukup seksi tetapi dari sikap dan penampilan sehari-hari juga
terkesan cerdas. Singkat kata, kalau ada perempuan laku disewa Rp 1,6 juta
sekali pakai, bayangkan sendiri bagaimana penampilan, penghidangan dan rasanya.
Baiklah terakhir saya ceritakan tentang pengawal saya, atau bodyguard saya.
Namanya
Jeffi. Saya biasa memanggilnya Dik Mul, karena memang usianya baru 21 tahun,
tiga tahun lebih muda dari saya. Orangnya tinggi, atletis dengan potongan
rambut cepak, dan penampilannya seperti militer.
Konon
katanya, sehabis lulus SLTA Jeffi pernah mengikuti tes masuk di AKMIL, tetapi
jatuh pada tes psikologi tahap 2. Orangnya sopan (asli dari Klaten, Jawa
Tengah) dan disiplin, dia juga sangat loyal pada saya (saya sudah sering
mengetes kesetiaannya tersebut). Jeffi sudah saya anggap adik sendiri.
Menjadi
sopir pribadi, mengurus pembayaran kontrak, mengatur waktu kerja, melindungi
dari berbagai pemerasan oknum keamanan dan sebagainya, pokoknya seperti
sekretaris pribadi. Hanya saja dia tidak tinggal serumah dengan saya. Saya
kontrakkan dekat dengan rumah saya. Selain itu dia masih mengikuti kuliah di
Universitas Terbuka, Fakultas Hukum. Lalu berapa gajinya? Itu rahasia
perusahaan.
Tetapi
yang jelas, sebagai seorang penjaga putri cantik, atau penjaga “kebun wisata”,
sekali waktu dia saya beri kesempatan untuk mencicipi atau menikmati keRenian
“kebun” itu. Mula-mula dia memang menolak.
Itu
terjadi pada suatu malam minggu di rumah. Dia saya panggil, saya minta dia
memijati badan saya. Dia menurut. Saya hanya mengenakan gaun malam tipis dengan
celana dalam dan BH yang siap dilepas. Mula-mula kaki saya dipijatnya
pelan-pelan, enak sekali rasanya.
Rasanya
tangannya berbakat untuk memijit. Kemudian naik ke betis, yang kiri kemudian
yang kanan. “Dasternya ditarik ke atas saja Dik Mul”, kata saya waktu dia mulai
memijat bokong. Saya sengaja memancing nafsu seksnya sedikit demi sedikit.
Sementara
nafsu saya sudah mulai terbangun dengan pemijatan pada bokong tadi. Bokong saya
diputar-putar, dan nafsu seks saya semakin bertambah. Terus pemijatan pada
pinggang, lalu punggung. Pada pemijatan di punggung kancing BH saya lepas,
sehingga seluruh punggung dapat dipijat secara merata tanpa ada halangan.
Waktu
Jeffi memijat leher, dia terlhat sangat berhati-hati. Setelah saya membalikkan
badan, Mul akan memulai memijat dari kaki. Tetapi saya mengatakan agar dari
atas dulu. Rupanya dia bingung juga kalau dari atas mulai darimana kepala atau
leher, padahal dada saya sudah terbuka sehingga kedua bukit kembar yang putih
dan kekar itu terbuka dan merangsang yang melihatnya. Belum sampai dia menjawab
pertanyaan saya, saya sudah mengatakan,
“Dik
Mul, Mbak Reni dicium dulu yach!”
“Ach enggak Mbak jangan.”
“Lho kenapa? Dik Mul nggak sayang sama Mbak ya?”
“Ach enggak Mbak jangan.”
“Lho kenapa? Dik Mul nggak sayang sama Mbak ya?”
Tanpa
menunggu jawaban, saya sambar leher Mul, saya peluk kuat-kuat, saya cium
bibirnya. Dengan kedua kaki saya, tubuhnya saya telikung, saya sekap. Dia
terlihat gelagapan juga. Lama leher dan kepala Dik Mul dalam dekapan saya.
Rasanya seperti mengalahkan anak kecil dalam pergulatan karena Dik Mul ternyata
diam saja. Baru setelah lima menit, Dik Mul memberikan perlawanan. Pelukan saya
lepaskan.
Dia
mulai mencium lembut pipi saya, turun ke dagu, lalu dada, di antara kedua buah
dada saya. Disapunya dengan bibirnya semua daerah sensitif di sekitar mulut,
dada dan leher. Saya menikmati benar ciuman ini. Apalagi setelah bibirnya turun
ke bawah di sekitar pusat, pangkal paha dan sekitar kemaluan saya.
Tanpa
saya sadari tubuh saya meliuk-liuk, mengikuti dan menikmati rangsangan erotis
yang mengalir di seluruh tubuh. Kemaluan saya mulai basah, menanti sesuatu yang
akan masuk. Setelah puas diciumi, saya berbisik, “Dik Mul, masukkan sekarang
kemaluannya ya! Saya sudah nggak tahan…” Dia lalu berdiri dan mulai melepaskan,
baju, celana, kaus baju dan terakhir celana dalamnya.
Kini
penisnya terlihat utuh putih kehitaman, dengan semburat urat-urat kecil di
sekitar pangkalnya. Ujungnya seperti ujung bambu runcing, lebih panjang bagian
bawah. Penis itu mencuat ke atas, membentuk sudut lebih kurang 30 derajat
dengan bidang horisontal.
Pelan-pelan
penis itu mulai ditelusupkan di antara bibir kemaluan saya. Setelah itu ditarik
secara pelan-pelan. Kemaluannya dan kemaluan saya dapat diibaratkan dua kutub
magnit, pergesekannya membangkitkan arus listrik yang merambat dari kemaluan
keseluruh tubuh, juga dari kemaluannya dan memberikan rasa nikmat yang sangat
kepada pasangan yang sedang ber-charging tersebut. Gosokan kemaluan Jeffi yang
semakin cepat membuat seluruh tubuh saya seperti terkena listrik.
Kemaluan
saya terasa berdenyut meremas kemaluan Jeffi. Saya orgasme, dan ini terulang
lagi beberapa kali, multi orgasme. Makin lama rangsangan itu semakin meningkat.
Bersetubuh dengan Jeffi memang saya rasakan agak lain.
Biasanya
saya bersikap meladeni kepada para pelanggan, tetapi dengan Jeffi saya seperti
diladeni, dipuaskan rasa haus saya. Gerakan keluar-masuk kemaluannya yang
lambat, ciuman disekitar buah dada yang terkadang diselingi dengan
menghisap-hisap putingnya, dan reaksi menggeliat-geliatnya tubuh saya, seperti
suatu pertunjukkan “slow motion” yang mengasyikkan.
Dan
ketika saraf tubuh saya tak lagi kuat menampung muatan listrik itu, saya
berbisik, “Dik Mul, tembak sekarang ya!” Dan Jeffi mempercepat gesekan
kemaluannya, sampai pada puncaknya kakinya mengejang. Bersama itu pula saya
peluk kuat-kuat tubuh Jeffi.
Inilah
puncak persetubuhanku dengan Jeffi. Teman-teman, sekian dulu perkenalan saya
yang panjang lebar.
Post a Comment